Ladang Pusi
Sudah banyakku menanam pusi di ladang
Kurawat dan kusirami dengan air mata
Hari minggu sudah penen saja puisi-puisiku
Terjual laris dipelbagai media; media cetak dan media elektronik
Ah, senangnya hatiku
Tak sia-sia pekerjaanku menanam puisi di ladang
Panen puisi-puisi untung besar
Hanya bermodalkan buku, laptop, hanpone, dan perasaan jujur
Usahaku berhasil
Berkembang pesat
Sebab air mata yang selama ini menyirami ladang
Kini bahagia kala panen raya
Pasaman, Juli 2020.
Cinta
Mencintai kata kerja
Dicintai kata sifat
Cinta itu kata hati
Cinta itu mudah di pahami
Susah untuk mengerti
Akan ada hari indah di masa pahit
Yaitu indahnya cinta warna-warni
Pasaman, Juli 2020.
Aku, Padi, dan Cinta
Aku mencintaimu puisi
Seperti aku menanam puisi di sawah
Dengan penuh harap
Kala segenggam padi yang kutanam
Menghasilkan ribuan biji
Masuk ke dalam karung-karung
Untuk dibawa ke rumahku
Yang akan kujadikan cinta sebelum panen berikutnya
Pasaman, Juli 2020.
Sawah dalam Lambung
: hari tani nasional 24 September
I.
dalam lambung petani, sawah selalu kelaparan
akan ditumbuhi padi dan bunyi mesin
tapi bisakah orang-orang sadar selepas perutnya kenyang
ada tangis darah para petani dalam lambungnya?
II.
sawah dalam lambung petani adalah kehidupan,
tapi malah dianggap halu : kok bisa, sih? tanya tikus
ya, bisa. kebijakan penguasa sekeras batu
dan sepanjang tiang-tiang listrik,
para tengkulak dibiarkan terus panen tanpa bertanam,
padahal petani cuma mau hari-harinya sejahtera, jawab kucing
III.
malam tiba, saatnya kucing tidur
dan tikus berkeliaran bebas di dapur
ayam berkokok
kucing bangun pagi, lapar
bergegaslah makan nasi
pakai sambal terasi tanpa gosok gigi
tetiba kebelet berak, namun kesesak mau tanya:
24 September hari tani nasional, itu tanda apa coba
kalau tidak sejahtera petani?
aku sejak semalam makan padi, jadi pas pagi
aku mau tidur dulu di meja kerja, mana tahu jadi presiden
dan mampu mengubah nasib petani, jawab tikus
IV.
maling mau jadi presiden dan mengubah nasib petani?
alhasil, di atas lambung petani sendiri
air matanya malah kering sejadi-jadinya,
seperti sawah yang sansai
Pasaman, 2021
Miang Pandemi
pandemi kian menggila
dalam ceruk cangkir kopi itu orang-orang dibuatnya merana
hidup jadi begitu pelik, berkotak-kotak, terkungkung, hingga
retak serupa kaca
tidak ada lagi gula dalam cangkir
kecuali kefanaan menjadi ampas
serupa miang padi beterbangan di lingkaran cangkir
hinggaplah ia dari mulut ke mulut, dari kulit ke kulit, gugur
gugurlah agar orang-orang tidak semakin merana
adakah pengobat miang pandemi itu?
jaga
jarak
mulut
tangan
kaki
: semua djaga
Pasaman, 2021
Banjir Kacang Panjang, Peria, dan Mentimun
: Emak
semalaman air berjatuhan dari atas langit
Emak begitu cemas kepada kacang panjang, peria, dan mentimun
di ladang. baru sekali dua kali dinikmat buahnya
sampai kapan suara air itu menghilang
belum lunas pembayar tampang, apalagi jerih payah selangit
hasilnya malah luka, menggigil setiap terdengar dentingan dari atas atap
ah! berbusa-busa peluh keluar
tapi, ketika ladang tertimpa
kulihat Emak tak lagi tersenyum pun tertawa
seperti harapan buah yang ditinggalkan bunga
hingga menimbulkan kecurigaanku kepada Tuhan
nauzibillahi minzalik. kecurigaan yang tak seharusnya terlintas
hari-hari berikutnya tidak ada yang mati
kulihat ladang buah-buahnya semakin lebat
tak kukatakan apa-apa kepada Emak selain
hasil yang kujajakan di depan matanya
: Tuhan punya cara terbaik menguji
dan memberi hadiah kepada hamba-Nya, kata Emak
Pasaman, 2021
Si Pemburu
ia berjalan pelan-pelan ke rimba yang dituju
menunduk
lalu merangkak
di atas rumput
telah ia masukkan peluru bedil itu dari olesan terason
kemudian dipompa sebanyak-banyaknya
ditembaki tepat ke dada burung satu ke burung lain
seolah-olah burung-burung itu musuh merenggut hidupnya
ia kembali berjalan pelan-pelan
menyusuri segala penjuru rimba
mengumpulkan sebanyak-banyaknya
ketika sampai di rumah, burung-burung
yang ia bawa dipertanyakan oleh anaknya
untuk apa burung-burung ini, Bapak?
untuk nasi yang kau suap
untuk minyak sepeda motor yang kau bawa
dan untuk kebutuhan lainnya, Nak
pencaharian di negeri subur ini tumpul seperti golok berkarat
lihatlah, orang-orang mencari nafkah ke sana-ke mari
dengan cara salah
atau pun benar sudah disamaratakan
Panti, 2021
Biodata penulis
Rilen Dicki Agustin, lahir di Pasaman 10 Agustus 1999. Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia. FIB-Unand. Puisinya tersiar di berbagai media. Seperti, Bangka Pos, Radar Cirebon, Riau Pos, Singgalang, Haluan, Medan Pos, beranda.org, banaranmedia.com, dan lain-lain. Buku puisi tunggulanya, “Lupa Hormat Pada Merah Putih” (2020).
Puisi-puisi tersebut telah terbit pada bfox.co.id.
- 18/07/2022 16:28 - KKN DESA PENARI: SEBUAH KARYA DI ERA DISRUPTIF
- 18/07/2022 15:52 - KESALAHAN PENULISAN GABUNGAN KATA PADA MEDIA SOSIAL
- 15/07/2022 21:12 - SOCIAL JUDGEMENT DALAM MEDIA SOSIAL
- 14/07/2022 06:59 - ISLAMISASI ALA SYEKH IBRAHIM DI SUMPUR KUDUS, MAKKAH DAREK
- 12/07/2022 17:18 - PUISI-PUISI MUHAMMAD FADLI